Merenung tentang tujuan awalku
berjuang di tempat ini. Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan.
Yaitu mendapatkan ijazah
s1 biar bisa dapat kerja yang layak (minimal nda jadi tukang). Tapi bukan hanya
itu. Orang tua di rumah sempat bilang . bilang
sesuatu yang menyesakkan juga menakutkan bagi anak gadis yang baru lulus
sma. Bilang saat anak gadisnya itu menampakkan gelagat terkena penyakit sudah-malas-belajar-tingkat akut yang bisa diartikan tidak mau
lanjut kuliah. Maka kata-kata seperti tinggal tunggu ada yang melamar atau cari
kerja baru nikah cepat (ujung-ujungnya nikah muda ==’) menjadi obat manjur
untuk membuat seseorang yang berjiwa
bebas ini kembali bergairah belajar dengan semangat empat lima yang berkobar-kobar (eaaa). Saya tahu mereka hanya bercanda.
Mereka orang tua paling keren yang pernah saya
lihat. Membebaskan anaknya untuk melakukan apa saja asal resiko tanggung
sendiri. Tidak pernah sok menggurui anaknya. Atau melakukan hal-hal yang
mengekang kemerdekaan anaknya. Mereka mungkin punya prinsip bebas bersyarat,
bukan bebas terbatas yang selalu diagung-agungkan orang tua lain. Lagian mana
ada bebas yang dibatas-batasi bukan bebas namanya. Tapi betulan saya tetap
takut.
Sekarang masih lanjut merenung dengan renungan
yang sama dan masih dalam kondisi yang sama yaitu merenung. Meski yang
direnungi itu kurang jelas tapi yah biar supaya
dibilang pemikir (merenung itu mikir juga kan) seperti pemikir-pemikir terkenal
lainnya, seperti Aristoteles katanya. Tapi sayangnya
saya bukan aristoteles itu, pemikiranku tak berkaitan dengan apa yang dia
pikirkan. Saya hanya
seorang arista yang merenung (atau mikir) sambil memandang toples.
Masih lanjut merenung. Masih dengan renungan yang
sama. Masih dengan pemandangan yang sama. Merenungkan apa yang akan saya
lakukan selepas kuliah. Pusing juga. Masih semester awal sudah mengkhayali dunia setelah wisuda.
Tapi mau diapa lagi. Saya tidak sedang memikirkan siapa-siapa kecuali diri saya
sendiri. Untuk apa coba memikirkan seseorang atau sekelompok orang yang belum
tentu memikirkan anda, betul. Maka pikiran-pikiran usil itu bermunculan bagai ide-ide nakal yang siap
untuk diterjemahkan menjadi seni. Lanjut merenung tentang renungan yang tadi.
Bagaimana kalau seandainya saya lulus cepat terus dikasih nikah cepat atau
dapat jodoh buat dipakai nikah cepat. Berarti usaha untuk tidak nikah cepat
gagal. Usaha itu hanya tertunda sebentar.atau bagaimana kalau saya lama
lulusnya (ini tidak termasuk do’a yah, jangan dicatat, jangan di ijabah) bisa
jadi saya dikasih nikah cepat-cepat. Sama hasil beda proses.
Tapi ya sudah. Renungan ini di tunda
dulu ada renunga lain yang lebih penting untuk direnungkan. Merenungkan
bagaimana menyelesaikan tiga paper dan satu presentasi yang bikin kepala berasa
aduhai. Bikin perut jadi melilit (sepertinya ini efek karena terlalu banyak
makan). Ya sudahlah
Arista yang masih memandang
toples ini kembali merenungi nasibnya. Nasibnya bersama tugas-tugas yang
sepertinya tidak mau diselesaikan.
0 komentar:
Posting Komentar