kalau ditanya tentang angsa, yang
terbayangkan pasti unggas berleher panjang dengan bulu putih nan indah. Tidak
heran kalau angsa diangkat menjadi nama salah satu reality show di AS. Reality
show yang bertujuan mengubah perempuan yang
jelek kurang menarik dari segi penampilan, menjadi perempuan yang
berbeda, lebih cantik tentunya. Filosofinya mungkin dari perkembangan angsa
sendiri. Seperti kita ketahui bahwa setelah terbebas dari cangkang telurnya,
anak-anak angsa memiliki bentuk fisik dan bulu yang tidak bisa dikatakan indah,
baru setelah melewati beberapa tahap menuju kedewasaan si anak angsa tadi baru
bisa dikatakan sebagai angsa sejati. Yah seperti itu pula para perempuan yang
mengikuti reality show tadi, mereka
akan melalui beberapa proses hingga mendapat penampilan yang mereka inginkan.
Tapi kali ini saya tidak akan membahas reality show di atas lebih jauh, yang akan saya bahas adalah
(terdedengtrededeng) angsa, atau lebih
tepatnya pengalaman buruk saya dengan angsa.
Cerita dimulai dari pindahnya kakak
saya (kicong) ke sahabat VI yang tidak jauh dari tempat kos terdahulunya
(sahabat V), dengan berbagai pertimbangan yang rumit pastinya. Nah jadilah saya
sebagai saudari yang baik hati, ramah kepada semua orang, pintar, dan rajin
menabung ini dengan hati yang lapang seluas lapangan di FISIP mengikuti kakakku
yang hijrah ke tempat kosnya yang baru. Selama beberapa minggu pertama tinggal
di kosan baru semuanya berjalan biasa-biasa saja terlalu biasa malah. hingga
suatu hari di sore yang sedikit kelam bertabur awan-awan kumulus yang dengan
senang mengajakku untuk bermain bersama menunggu hujan datang (beberapa kata terakhir
hanya imajinasi liarku ==V ) ketika
sedang dalam perjalanan pulang, di perempatan jalan saya berpapasan dengan
kawanan angsa yang berjumlah sekitar tujuh ekor dengan format lima dewasa
ditambah dua ekor angsa muda. Berhubung saya tidak pernah memiliki pengalaman
apa-apa dengan angsa, dengan pemikiran yang menyamakan angsa seperti bebek pada
umumnya, saya melewati kawanan angsa itu dengan langkah ringan dan hati riang.
Tapi itu mungkin adalah langkah buruk dari kesekian banyak langkah buruk
lainnya yang pernah saya buat. Tanpa saya sangka, seekor angsa yang paling
besar diantara angsa yang lain tiba-tiba mengeluarkan bunyi lengkingan yang
keras disertai dengan pemanjangan leher, yang dilakukannya sambil berlari
menghampiri saya. Melihat angsa tadi mulai mendekat, secara spontan saya
berlari sambil mengeluarkan suara yang lebih berisik tentunya namun tetap merdu
(hhehehe). Merasa terancam, saya
mengeluarkan kemampuan berlari saya yang paling hebat hingga saya sampai dengan
selamat di pintu rumah. Untungnya, pintu rumah sudah dalam keadaan terbuka jadi
dengan cepat saya menutup pintu dari dalam. Dengan tawa penuh kemenangan saya
melihat keluar dari jendela , si angsa tadi masih berorasi di depan rumah saya
menuntut saya keluar dan melakukan duel dengannya. Tapi maaf Sa (panggilan
akrab buat si angsa) saya bukan orang
yang gampang terpancing dengan kata-katamu.
Setelah kejadian hari itu,
tiba-tiba daftar phobiaku bertambah. Dari takut sama anjing, belatung, monyet,
dan akhir bulan sekarang, takut terhadap angsa masuk menjadi phobia baru yang
menjengkelkan. Bagaimana tidak menjengkelkan, lingkungan di sekitar tempatku
sering mendapat kunjungan si kawanan angsa tadi. Jadi mau tidak mau yah harus
rela bertemu hampir tiap hari dengan keluarga angsa tadi. Hingga kini, setiap bertemu dengan
kawanan angsa itu, saya selau disuguhkan lengkingan angsa yang memekakkan
telinga. Mungkin si angsa besar tadi yang sepertinya ketua genk angsa merasa
jengkel karena dipecundangi oleh saya, sehingga dia belum puas sebelum mematuk
leher saya sampai patah.
NB: buat ketua genk angsa saya
melalui tulisan ini meminta maaf yang sebesar-besarnya. Saya harap semua
permasalahan yang pernah ada diantara kita selama ini bisa ketua lupakan^_^V
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus